ARTIKEL

BELAJAR DARI PENGALAMAN
Ada seorang nabi yang mempunyai mantera untuk menghidupkan tulang orang mati. Murid-muridnya berkali-kali meminta agar nabi itu memberikan mantera tersebut kepada mereka. Tetapi nabi itu selalu menjawab, “Sabarlah. Kamu perlu pengalaman lebih dulu. Kamu perlu belajar bijak dari pengalaman. Tunggulah sampai kamu menjadi lebih matang. Nanti saya pasti akan memberikan mantera itu.”
Akan tetapi, murid-muridnya tetap mendesak. Mereka terus mendesak. Akhirnya dengan berat hati nabi itu memberikan mantera yang mereka minta. Para murid itu gembira. Mereka langsung meninggalkan sang guru. Mereka ingin mencoba mantera itu. Di perjalanan mereka melihat ada beberapa batang tulang berserakan. “Mari kita coba sekarang!” Lalu mereka menggunakan mantera itu. Apa yang terjadi? Tulang-tulang itu mulai bergerak. Mantera itu ampuh! Dengan mata terbelalak mereka melihat tulang-tulang itu mulai ditumbuhi daging. Lalu menjadi kerangka. Ternyata kerangka itu menjadi serigala. Serigala yang hidup dengan mata yang liar. Murid-murid itu lari ketakutan karena dikejar serigala. Akhirnya mereka diterkam dan tewas terkoyak-koyak.
Kepandaian dan kekuasaan belum segala-galanya. Orang yang pandai dan berkuasa belum tentu bijak dalam menggunakan kepandaian dan kekuasaannya. Mereka belum tentu berpengalaman. Apa artinya pengalaman? Pengalaman belum tentu identik dengan panjangnya masa kerja. Pengalaman lebih dari sekedar mengalami sesuatu. Apa yang kita lihat, dengar atau kerjakan belum tentu menjadi pengalaman. Apa yang kita kerjakan baru menjadi pengalaman kalau kelak kita bisa memanfaatkan kesalahan dan keberhasilannya untuk pekerjaan kita yang selanjutnya. Kualitas sebuah pengalaman diukur dari kemampuan kita untuk menarik pelajaran dari pengalaman itu. Pakar pendidikan John Dewey (1859-1952) dalam buku Experience and Education menulis: “Everything depends upon the quality of the experience which is had. The quality of any experience... is its influence upon later experiences... wholly independent of desire or intent, every experience lives on in further experiences.”
Dalam pengertian itu kita berkata bahwa cara belajar yang terbaik adalah belajar dari pengalaman. Bukan pengalaman dalam arti sekedar mengalami, melainkan bertanya apa yang aku pelajari dari apa yang kualami, apa kelemahanku, apa kekuatanku, apa yang perlu diperbaiki, apa yang perlu diubah, apa manfaat yang diperoleh orang banyak dari semua ini?
Pengalaman baru bisa disebut pengalaman kalau apa yang dialami itu diuji secara kritis. Untuk itu, dibutuhkan sikap jujur terhadap diri sendiri dan mau mengakui kebodohan sendiri. Orang yang cepat berpuas diri biasanya miskin pengalaman, walaupun apa yang dialaminya banyak.
Kualitas pengalaman diukur dari intensitas. Hidup Yesus di bumi hanya 33 tahun, tetapi hidup-Nya begitu intens (= dalam, hebat, padat, berarah), karena Ia mempunyai intensi (= tujuan, maksud) yang jelas, yaitu “untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45).
Hidup yang bermutu menghasilkan pengalaman. Pengalaman menghasilkan sikap bijak. Pengalaman menjadikan orang berhati-hati dan mempertimbangkan segala sesuatu secara tenang dan matang. Ia melihat persoalan bukan hanya dari satu perspektif atau dari kepentingan sendiri, melainkan dari pelbagai perspektif atau dari kepentingan orang banyak. Ia tidak begitu saja maju dan menerjang. Jika perlu, ia bersedia berhenti dan menepi. seperti ditulis oleh pengarang Amsal, “Kalau orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka” (Ams 22:3).
Perhatikan bahwa ayat itu mempertentangkan antara “bijak” dan “tak berpengalaman”. Pola itu terdapat di sepanjang Kitab Amsal (contoh eksplisit lain ada di dalam Amsal 14:15). Menurut Amsal orang yang mau bijak perlu belajar dari pengalaman. Pandai dan berkuasa belum berarti bijak dan berpengalaman. Murid-murid nabi tadi sudah pandai dan berkuasa karena mereka mempunyai mantera yang mampu menghidupkan tulang. Tetapi, mereka terburu nafsu untuk menggunakan kepandaian dan kekuasaan. Tulang yang mereka hidupkan ternyata tulang serigala. Mereka menghidupkan sesuatu yang kemudian mematikan mereka. Mereka sudah mempunyai kepandaian dan kekuasaan, tetapi mereka belum mempunyai sifat bijak dan pengalaman.
************************************************************************************* Siapakah orang yang rugi?
Orang yang rugi adalah
orang yang sudah sampai usia pertengahan
namun masih berat untuk melakukan ibadat
dan amal-amal kebaikan.
Maka hargailah waktumu dan bersegeralah.....