RH JUM'AT, 30 Mei 2008

Bacaan setahun: Ams. 13-15; Rm. 11
Harga suatu kebenaran (Ester 4:10-17)
Ketika saya berbicara dengan seorang pemuda sebelum hari H dalam Perang Dunia II, saya mengamati bahwa mereka mengalami suatu ketakutan. Tak seorang pun dari mereka yang ingin mati dalam peperangan. Namun bagaimanapun juga, sebagian besar dari mereka menggambarkan keyakinan bahwa alasan mereka untuk berperang adalah benar dan itu adalah harga dari suatu resiko. Ratu Ester juga mengalami perasaan yang sama. Ia tidak ingin mati. Ia berpuasa selama tiga hari untuk menyatakan kebutuhannya akan pertolongan khusus dari Allah. Menurut adat-istiadat Persia, jika Ester menghadap raja tanpa diundang dan raja tidak berkenan, raja dapat menjatuhkan hukuman mati sekalipun itu isterinya. Namun Ester berani mengambil resiko itu karena ia sangat mengasihi rakyatnya.

Saat ini di Amerika Serikat, pria dan wanita dan yang gugur karena membela negaranya sangat dihormati. Dorongan patriotisme memaksa mereka mengambil jalan itu dalam hidup mereka. Baik secara sukarela maupun karena wajib militer, mereka bergabung untuk mempertahankan tanah airnya. Mereka mempertaruhkan nyawa dan mati. Sama seperti kita berhutang pada mereka yang gugur untuk mencapai kemerdekaan, kita juga harus berterima kasih kepada Allah karena AnakNya telah mati di kayu salib untuk membebaskan kita dari perbudakan dosa.