RH Jumat, 28 Januari 2011

MENGHARGAI KEHIDUPAN (Mazmur 88)

Anak lelaki itu terlahir cacat tanpa dua tangan. Dua kakinya pun tak sempurna, tak cukup kokoh untuk menopangnya berdiri. Apabila "berjalan", ia harus menggulingkan badannya di lantai. Namun, yang membuat saya terkesan tatkala melihatnya melalui tayangan televisi adalah sorot matanya. Tegas. Berani. Gigih. Di panti penampungan itu, ia disayangi dan dilatih untuk mandiri. Dengan jemari kakinya yang mungil, ia mampu memakai dan melepas baju, makan, menggosok gigi, menulis, melukis. Ia dibuang orangtuanya sewaktu bayi. Kini usianya sudah 10 tahun. Kehidupan tidak ramah kepadanya, tetapi ia menjalaninya dengan tangguh.

Orang Yahudi di masa Perjanjian Lama sangat menghargai kehidupan. Sebab, hanya ketika hiduplah manusia dapat berkiprah ini dan itu. Di alam maut, semua nihil dan mustahil. Jika Tuhan berkenan, hidup patut dipertahankan dan diperjuangkan. Dalam menghargai hidup, ada perjuangan untuk mempertahankan dan menjalaninya. Menghargai kehidupan memang butuh perjuangan. Hidup karunia Tuhan layak dijalani dengan tangguh.