RH Rabu, 17 Maret 2010

Rabu, 17 Maret 2010

Titik Hitam (1 Raja-raja 19: 9-18)

Di sebuah kelas sekolah dasar, seorang guru wanita memperlihatkan secarik kertas ber-gam-bar satu titik kecil berwarna hitam ke-pada para murid. “Ini apa, anak-anak?” ta-nya-nya. “Titik, Bu!” jawab para murid se-rem-pak. “Bukan, ini kertas!” kata Bu Guru lagi. Ilustrasi kecil ini menun-juk-kan, bahwa orang bisa lebih terfokuskan per-hatiannya pada satu titik hitam, wa-lau-pun kecil di-ban-ding pada lembaran besar ker-tas putih di mana titik hitam itu tergambar. Hal itu juga terjadi pada Nabi Elia ketika ia melarikan diri dari Izebel, istri Raja Ahab, yang mengancam hendak membunuhnya. Di Gunung Horeb, Elia begitu frustrasi, ia me-ra-sa seolah-olah hidupnya begitu suram dan ke-lam. Sampai-sampai ia ingin mati dan merasa hanya tinggal sendirian. Di tengah berbagai kesulitan, ketika badai hidup menerjang, apakah kita merasa hidup ini seolah-olah gelap sama sekali? Kita lalu merasa sebagai orang yang paling malang di dunia. Baiklah sejenak kita berdiam di-ri. Kita fokuskan perhatian pada hal-hal yang indah dalam hidup ini. Percayalah, kita akan menemukan kenyataan bahwa hidup kita tidaklah sekelam yang kita duga. “Ruang putih” dalam kertas hidup kita masih jauh lebih luas dibandingkan satu titik hitam beban yang ada di situ.